Halaman

Minggu, 06 Mei 2012

(Motivasi) Jangan Mengeluh

              
             Kemampuan untuk mensyukuri dan melihat sisi positif dalam berbagai situasi adalah hal yang penting, tetapi kita bisa melihat bahwa hal yang marak berkembang di masyarakat adalah malah sebaliknya. Dalam berbagai situasi, kita begitu mudah berkeluh kesah berkepanjangan denan berbagai situasi yang dihadapi. Di dunia politik, kita semakin sering menyaksikan para politikus mengeluh atau curhat di media massa, betapa dirinya dizalimi dan diserang lawan politiknya. Apakah memang tindakan tidak etis dalam berbisnis dan berpolitik begitu dominan sehingga kita sering merasa tidak mempunyai kontrol terhadap faktor eksternal? Atau, sadar tidak sadar, kita melakukan tindakan manipulatif, yaitu berkeluh kesah untuk merangsang belas kasihan, mendapatkan perhatian, bahkan mendapatkan “power”? Namun, bukankah cara seperti itu, bagaimanapun juga kurang menarik dan tidak simpatik? Bila tidak mau terlihat cengeng, kita tentu harus berhenti menggunakan kelemahan maupun kelemahan situasi untuk menarik simpati orang lain. Bila sebagai public figure atau pemimpin, kita tentu harus punya strategi lain yang tidak “cengeng”.


Beraksi, bukan bereaksi
       Semua pasti setuju ungkapan “if the dogs bites you, dont bite the dog back”. Kenyataannya, hal ini lebih mudah dikatakan daripada dipraktikkan, apalagi kalau kita sudah bertubi-tubi mendapatkan cercaan yang belum tentu benar-tidaknya. Namun, apakah reaksi bela diri itu akan bermanfaat bagi kita? Seorang teman yang juga mengalami banyak tekanan, kesulitan, dan persaingan, nampak kuat karena ternyata selalu memegang prinsip bahwa semua kritik, tekanan dan hambatan yang dialaminya adalah “kesempatan untuk maju”. Ia berkomentar, “hindari demoralizing, jangan biarkan diru kita sakit hati dan bermental kecut”.  Ya, kitalah yang menentukan apakah melihat situasi dengan masam atau tetap netral, seberat apa pun tekanannya. Dari teman ini, saya juga belajar bahwa hal yang pasti harus dilakukan adalah mengenali dan menahan reaksi yang muncul ketika tekanan datang. Kita perlu berusaha mencerna dan menahan, sebelum memberi respons mental yang negatif. Rasa sakit hati, tersinggung, dan kehendak untuk membela diri yang biasa muncul, perlu kita kenali dan dekati untuk menjaga mental positif.
             Kita pasti sudah membuktikan bahwa reaksi implusif kita justru akan membawa situasi yang lebih buruk. Banyak orang belum meyakini bahwa denan menyeleksi tindakan dan reaksi yang dikeluarkan dengan saringan positif, kita mungkin saja melakukan manuver untuk mencapai tujuan. Daripada mengatakan, “Saya sakit, jadi tidak bisa berolah raga”, sebetulnya lebih baik mengatakan bahwa kita ingin beristirahat sejenak. Daripada mengeluhkan “Pekerjaan saya membosankan”, lebih baik mengatakan bahwa kita sedang mengevaluasi hal yang penting dalam pekerjaan dan bila merasa perlu nilai tambah dari tempat lain, kta bisa mengatakan saatnya menemukan pekerjaan lain. Daripada mengeluhkan “Lawan politik saya berbuat curang”, bukankah lebih baik mengatakan pada publik sekaligus meyakinkan diri bahwa saya akan “bermain dengan penuh integritas” dalam pertarungan politik ini? Dalam olah raga bela diri aikido, orang belajar untuk mengikuti gerak lawan dan akhirnya bisa memenangkan situasi. Dari sini, kta pun bisa mempelajari bahwa upaya dan keberhasilan menahan rekasi, mengatur tempo, menemukan hal positif dalam setiap situasi adalah kemenangan individu dalam hidupnya.

“Be a better person”
          Dalam sebuah seminar, pembicaraan panel sudah semakin pesimistis dan bahkan menakut-nakuti akan sulitnya menghadapi tantangan kompetisi, seorang panelis yang berasal dari China mengingatkan kembali pentingnya melihat gejala ini secara positif. Seperti dalam tulisan China, kata “krisis” sekaligus mempunyai dua arti sekaligus, yaitu “bahaya” dan “kesempatan”. Jadi sesungguhnya, kritik dari atasan, komplain dari pelanggan,  jagalan oleh kompetitor adalah kondisi yang memang tidak enak, tetapi sekaligus bisa kita gunakan untuk menjadikan diri lebih baik.
             Bila “diserang” atau “dicaci” oleh orang lain, tetapi kita berhasil membawa diri ke sisi positif, setidaknya kita bisa langsung merasakan dua “kemenangan”. Pertama, kita akan “feel good about ourselves”. Perasaan lega maupun percaya diri akan timbul, dan ini sangat menyehatkan jiwa. Kemenangan kedua adalah peningkatan citra diri kita di mata publik. Kita akan dilihat sebagai orang yang optimistis dan terbuka terhadap kesulitan. Bagaimana bila kritik yang dilancarkan memang benar dan membuka kelemahan kita? Kita tentu masih bisa positif dengan meyakini bahwa nobody’s perfect. Kita pasti berbuat salah. Hal yang terkadang membuat kita berat menerima kritik adalah karena sering kali kita mencampuradukkan serangan tersebut dengan diri pribadi. Tentu akan  lebih  efektif bila kita melihat bahwa kesalahan dalam tindakan, keputusan, atau solusi yang diambil tidak membuat diri kita menjadi “rendah”. Selama benar-benar berniat untuk menjadi diri yang lebih baik, kita seharusnya melihat apa yang bisa dipelajari dari kesalahan yang kita lakukan itu. Ini tentu hal yang harus kita buktikan dalam tindakan. Memperbaiki tindakan-tindakan yang keliru ini pun bisa kita lakukan tanpa mengeluh, bahkan mensyukuri karena ada orang yang mengingatkan.

Sumber: Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar