Remaja ini paham kekhawatiran
orangtuanya, ia pun merasa tidak ingin membangkang, bahkan berjanji dalam hati
untuk memperbaiki kebiasaannya. Kenyataannya, satu-dua kali memang menjalankan
kebiasaan barunya tetapi sesudah itu ia kembali lagi kepada kebiasaan lamanya. Orangtuanya
tentu sangat kecewa. “ada apa dengan anakku ini? Apakah ia memang pembangkang? Diberi
tahu tidak bisa?” padahal, kalau mencari something
wrong pada anak ini, kita tak bisa menemukannya. Hanya saja, dia gagal
berubah.
Kegagalan berubah begitu sering
kita saksikan atau bahkan mengalaminya sendiri. Perubahan dipandang sebagai
proyek rumit dan imajinasi mengenai perubahan dirasakan sebagai sesuatu yang
besar, merusak kenyamanan, dan tidak menyenangkan. Padahal, tuntutan perubahan
sebenarnya juaga tidak selalu “besar-besaran”. Dari yang “tidak melaporkan”,
menjadi “melaporkan”. Dari yang melanggar lampu merah menjadi berhenti saat
lampu lalu lintas berubah kuning. Dari yang tidak senyum pada pelanggan,
menjadi senyum dan menyapa pada pelanggan. Dari yang menyegerakan follow up, menjadi bergegas untuk
menuntaskan setiap tugas yang diterima. Kita sadar perubahan kebiasaan
ditentukan adanya konsistensi dan “constant
change”. Namun, banyak orang menerjemahkan kalimat “constant change” seolah-olah gubrag
ke kiri gubrag ke kanan.
Peubahan konstan yang ideal
adalah bila seseorang atau sebuah lembaga terus bergerak maju, beradaptasi
dengan perubahan lingkungan, menyesuaikan sistem prosedur dan kebijakan sesuai
tuntutan zaman, tetap tumbuh dan tidak jalan di tempat. Banyak orang mengerang
dan mengeluh bisa ada proyek perubahan. Padahal, perubahan itu ada di dalam
diri kita semua. Manusia menikah, punya anak, pindah kerja, pindah kota, ganti
HP, belajar teknologi baru, coba resep masakan, dan pakaian baju baru. Ini berarti
bahwa kita perlu punya keyakinan bahwa kapasitas untuk berubah itu ada dalam
diri kita masing-masing dan bukan kapasitas yang istimewa.
Menghitung dan merencanakan
perubahan
Banyak pimpinan perusahaan tidak
segan untuk mengeluarkan banyak uang untuk membuat “Change Program”. Harapannya tentu saja segera bisa terjadi
perubahan perilaku, suasana kerja, dan budaya kerja, dari yang statis menjadi
dinamis, dari yang lamban menjadi gesit atau bahkan dari perusahaan lokal
menjadi global. Ketika seorang ahli ditanya mengenai persentase keberhasilan
program perubahan yang “heboh” seperti ini, beliau menjawab tingkat
keberhasilannya hanya 20 persen. Kita perlu jadi berpikir keras bila 20 persen
perubahan terjadi dengan upaya semacam ini “worth”?
namun, ahli tersebut menekankan juga bahwa bila program perubahan terus terjadi
sampai 80 persen! Kita lihat bahwa program perubahan memang perlu serius dan
tidak bisa setengah hati. Sungguh beda hasil yang didapat bila kita
merencanakan perubahan atau bila salah melakukan pendekatan.
Bila dalam proses perubahan, kita
takut pada kontradiksi, sebenarnya yang perlu dilakukan adalah kesiapan
terhadap kontradiksi. Kontradiksi antara semangat untuk berubah dan menatasi
perasaan yang meng-gandoli kebiasaan
lama. Pimpinan tidak lagi bisa mengandalkan pendekatan yang analitis, tetapi
justru perlu memikirkan secara metafora. Fokus pada futura saja tidak cukup
karena kita juga perlu secara jangka pendek berfokus pada suasana,
langkah-langkah pendek dan kecil yang memang perlu dirancang untuk memudahkan
perubahan.
Sikap dan emosi positif terhadap
perubahan
Bagaikan kegembiraan memakai baju
baru atau menempati rumah baru, sebetulnya hampir semua individu menyambut
gembira perubahan. Demikian pula, pembaharuan atau inovasi di dalam tim dan
organisasi. Kita pasti ingat antusiasme ketika tertama kalinya kita gunakan
ponsel. Kita pun pasti pernah juga mengalami ketika di tempat kerja tiba-tiba
bisa melakukan komunikasi internet. Perubahan memang positif sehingga tidak ada
alasan untuk melihatnya sebagai monster dan menghindarinya. Hanya saja sikap
positif dan keinginan untuk berubha saja memang tidak cukup. Proses komunikasi,
kesiapan individu dan tim untuk menyerap informasi baru adalah hal yang
kritikal.
Saat isu perubahan dicanangkan,
sering kita lihat banyak orang “membombardir” individu dalam organisasi dengan
presentasi-presentasi yang canggih, tetapi seolah tidak memikirkan daya tangkap
“audiensinya”. Padahal, individu tentunya lebih mudah menyerap informasi dalam
bahasa yang lebih sederhana, dengan situasi yang lebih dekat dengan dirinya,
sehingga ia bisa merasakannya dan kemudian membantunya melihat arah dan
gambaran perubahan yang sangat jelas. Kalu perusahaan mau berubah, akan
berbentuk apa perusahaan itu? Kalau kita jelas-jelas mengatakan bahwa
perusahaan yang tadinya perusahaan dagang, sekarang ingin dibentuk menjadi
perusahaan yang berfokus pada “supply
chain”, karyawan tentunya jadi bisa lebih punya bayangan tentang bentuk
perusahaan pada masa mendatangnya. Bila rumah sakit yang tadinya sangat
mengagung-agungkan dokter kemudian berubah orientasi pada kebutuhan pasien,
alias pelanggan, karyawan tentu harus sadar bahwa prosedur pemeriksaan pasien
harus dibuat lebih mudah bahkan lebih cepat, lancar dan terpercaya.
Hal yang perlu kita ingat adalah
perasaan-lah yang menghambat perubahan, tetapi sebaliknya berasaan jugalah yang
mendorong perubahan. Individu dalam organisasi tidak sulit berubah bila
perasaannya tergelitik. Ini berarti informasi yang disampaikan untuk perubahan
perlu sampai memotivasi, membangun antusiasme dan membuat individu lebih enteng
untuk berpartisipasi dalam perubahan.
Sumber: Kompas